Kisah Abu Lahab: Demi Jabatan Menentang Kebenaran
Oleh Adib Falahuddin*
Tujuan Al-Quran menyampaikan sebuah kisah adalah agar manusia mengambil pelajaran darinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada akhir QS.Yusuf [12]:111. Pengajaran dengan metode kisah ini merupakan salah satu metode yang digemari manusia karena sejalan dengan psikologi manusia yang menyukai cerita (Mustaqim, 2011: 269). Dengan kisah, diharapkan pesan-pesan Al-Quran dapat tersampaikan dengan efektif.
Salah satu kisah yang dimuat Al-Quran adalah kisah Abu Lahab dan istrinya dalam QS Al-Lahab. Surat ini menarik untuk dikaji mengingat Abu Lahab merupakan paman Nabi Muhammad SAW. Kita perlu mengkaji lebih jauh mengapa Abu Lahab dan istrinya divonis menjadi penghuni neraka. Apa yang telah mereka perbuat sehingga mendapat hukuman yang sangat pedih dari Allah SWT. Meskipun kisah Abu Lahab adalah kisah masa lalu, kisah Abu Lahab bukan tidak mungkin terjadi pada masa sekarang. Sebuah ungkapan “sejarah mungkin berulang” membuat manusia sadar untuk selalu mengambil pelajaran di setiap peristiwa masa lalu dan perlu diwaspadai ketika peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang negatif (Seran dan Mardawani, 2021:6).
Ragam Tafsir QS Al-Lahab
Mayoritas mufasir menjelaskan bahwa kebinasaan Abu Lahab dan istrinya adalah disebabkan karena pertentangannya yang luar biasa terhadap dakwah Nabi Muhammad SAW. Salah satu bentuk pertentangannya dapat dilihat dari sebab turunnya QS Al-Lahab yang didasarkan pada riwayat dari Ibn ‘Abbās, beliau berkata “ Nabi Muhammad SAW keluar menuju tanah lapang, kemudian naik ke atas bukit seraya berseru; Yā ṣabāḥāh, maka berkumpullah kaum Quraisy di hadapan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW berkata: “Bagaimana pendapat kalian jika aku beritahukan kepada kalian bahwa musuh akan menyerang kalian di waktu pagi ataupun sore, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka berkata: “Ya, kami mempercayaimu”. Rasulullah SAW berkata: “Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan azab yang pedih”. Abu Lahab berkata:”Celaka engkau, apa hanya karena ini engkau kumpulkan kami? Lalu Allah menurunkan Tabbat Yadā Abī Lahabin wa Tabb sampai akhir surat “(Al-Suyūti, t.th: hlm 219).
Pertentangan Abu Lahab ternyata memiliki motif untuk mempertahankan jabatan. Sebelum peristiwa berkumpulnya kaum Quraisy di tanah lapang, sebelumnya Nabi Muhammad SAW mendatangi Abu Lahab guna berdakwah sesuai perintah Allah QS. Asy-Syu`ara [26]:214 untuk mendakwahi kerabat dekat. Abu Lahab berkata “apa yang akan diberikan kepadaku jika aku beriman dengan (risalah)mu? Nabi Muhammad menjawab “(kamu akan diberi) sebagaimana orang-orang muslim diberi. Lalu Abu Lahab melanjutkan “Apakah tidak ada keistimewaan bagiku?”. Nabi Muhammad menjawab “apa yang kamu harapkan?”. Abu Lahap berseru “Celaka kamu! Karena agama yang kamu bawa menyamakan antara aku dan mereka orang muslim” (Al-Izz ibn Abd al-Salām, 1996: juz 3, hlm 502) Percakapan ini menjelaskan ambisi Abu Lahab terhadap kedudukan yang tinggi. Dia khawatir ketika mengikuti Nabi Muhammad dia akan terancam kedudukannya.
Al-Quran melalui QS. al-Lahab [111]:2 menginformasikan bahwa “tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Menurut Ali al-Shabuni dalam Ṣafwah al-Tafāsīr, tidak bermanfaat bagi Abu Lahab harta yang telah dia kumpulkan, kedudukan dan posisi tingginya yang dia usahakan (al-Shabuni, 2015:1564). Akan tetapi, posisinya yang masyhur di kaumnya dan hartanya yang melimpah tidak mampu mencegahnya dari ketentuan Allah SWT yang menghukumi kebinasaan bagi Abu Lahab. Hal ini juga merupakan isyarat bahwa tidak ada perbedaan antara kerabat atau bukan, siapapun yang menentang agama Allah SWT, maka akan binasa sebagaimana Abu Lahab (Al-Biqā`i, t.th: juz 22, hlm 328).
Kaum Quraisy, termasuk di dalamnya adalah Abu Lahab, merupakan kaum yang memegang kunci Ka’bah dan mengatur pengelolaan sumur zamzam. Sebagai pemegang kunci Ka’bah, rumah-rumah mereka berada sangat dekat dan terkait dengan Ka’bah yang melambangkan seberapa penting kedudukan orang atau si pemilik rumah (Haekal, 2015:116). Dengan kedudukan itu, Abu Lahab dan para pemuka Quraisy mengajak dan menganjurkan agar manusia tetap dalam penghambaan dan perbudakan dengan menyembah berhala dengan segala khurafat dan takhayulnya. Selama manusia masih menyembah berhala, maka status quo Abu Lahab dan pemuka Quraisy sebagai orang-orang yang memiliki jabatan tinggi tetap bertahan karena merekalah orang-orang yang paling lantang mempertahankan paganisme di Makkah. Mereka khawatir jika banyak orang yang mengikuti Nabi Muhammad SAW, akan mempengaruhi kedudukan mereka sebagai pemuka agama.
Muhammad ‘Abduh dalam Tafsīr Juz ‘Amma menerangkan bahwa Allah SWT menurunkan QS Al-Lahab bertujuan memberikan gambaran atas laki-laki dan wanita fasik yang memusuhi apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Sikap itu dikarenakan mereka menjunjung tinggi keyakinan- keyakinan dan agama-agama peninggalan nenek moyangnya meskipun mereka tidak mengetahui akan dasar keyakinan agama tersebut. Juga karena mengedepankan kesombongan atas apa yang dimilikinya dari kekayaan, kekuatan, kehormatan sebagai penguasa atas kelompok-kelompok tertentu (Abduh, t.th: hlm 295)
Menentang Islam Demi Mempertahankan Jabatan
Kisah Abu Lahab ini mencerminkan sikap seseorang yang demi kedudukan dan jabatan, dia menentang kebenaran Islam. Meskipun bukti-bukti nyata telah didatangkan, mereka tidak mau mengakui bahkan menentang kebenaran ketika kebenaran itu mengancam kedudukannya di masyarakat. Dalam QS. al-Qaṣaṣ [28]:57 dijelaskan mengenai kekhawatiran Kaum Quraisy terhadap kedudukannya. Orang-orang Quraisy berkata “jika kami mengikutimu dengan agamamu dan meninggalkan agama (lama) kami, kami khawatir orang Arab akan mengusir kami, berkumpul untuk bertempur dengan kami dan mengusir kami dari tanah kami” Padahal tidak demikian, Allah telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram (tanah suci). Mereka terjaga dari tertumpahnya darah dan menjadikan tanah haram sebagai tempat yang aman. Maka bagaimana bisa mereka merasa tidak aman ketika memeluk Islam padahal ketika mereka dalam kekafiran sekalipun, mereka berada dalam keamanan (al-Shabuni, 2015:882).
Dari keterangan ini, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa jabatan menjadi salah satu motif kuat seseorang menentang kebenaran Islam. Sebab kekafiran mereka bukan karena tidak mengetahui kebenaran Islam. Antara jalan kebenaran dengan kesesatan sudah jelas perbedaannya, hanya saja mereka khawatir akan jatuh dari jabatan yang selama ini diduduki. Jika merujuk pada makna kafir secara bahasa yaitu menutupi, maka dalam konteks ini jabatan telah menutupi seseorang dari kebenaran agama.
Dalam konteks yang lebih luas, kisah Abu Lahab dapat dijadikan cerminan mengenai sikap menentang kebenaran. seorang koruptor bukan tidak tahu menyuap itu perbuatan menentang kebenaran, hanya saja koruptor khawatir jika kejahatannya diketahui dia akan dipecat dari jabatannya. Ini juga menandakan bahwa antara kekayaan dan jabatan merupakan satu rangkaian yang saling terkait. Orang dengan kekayaannya dalam masyarakat dipandang tinggi kedudukannya dan dengan kedudukannya yang tinggi orang dapat dengan mudah mengumpulkan harta. Hal inilah yang membuat banyak orang menjadi buta akan kebenaran dan cenderung menentang kebenaran.
Wallahu a’lam bissowab.
*Penulis adalah mahasiswa Magister IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.