Nasr Hamid Abu Zayd: Mendudukkan Kembali Tekstualitas Al-Qur’an

Oleh: Ahmed Zaranggi Ar Ridho

Selama ini Al-Qur’an diposisikan sebagai kitab Allah yang suci dan bersifat transenden. Memposisikan Al-Qur’an sebagai yang sakral berimplikasi pada pemilihan cara dan metode yang digunakan untuk memahaminya. Sejalan dengan hal ini, ulama klasik kemudian dengan cara pandang yang dogmatis-ideologis secara berlebihan menyikapi teks Al-Qur’an, akibatnya secara tidak sadar melahirkan pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas.

Pemahaman seperti ini selanjutnya berimplikasi pada hal yang serius, yaitu ketika terdapat kepentingan dari satu kelompok atau orang yang kemudian menggunakan otoritas teks untuk melegitimasi dan mendukung kepentingan mereka. Ini yang kemudian menjadi kegelisahan yang dirasakan secara nyata oleh Nasr Hamid Abu Zayd.

Tekstualitas Al-Qur’an

Melalui buku Mafhūm an-Na Dirāsah fī Ulūm al-Qur’ān, Nasr ingin mendudukkan kembali watak tekstualitas Al-Qur’an pada porsinya. Sehingga, tidak ada lagi sakralitas yang berlebihan kepada Al-Qur’an. Melalui judulnya saja, sudah dapat dilihat bagaimana Nasr mengistilahkan Al-Qur’an sebagai teks (an-Na), artinya Nasr ingin mendekati Al-Qur’an sebagai sebuah teks tanpa dipengaruhi dengan bias ideologi dan dogma yang sudah ada.

Memposisikan Al-Qur’an sebagai teks, karena memang Al-Qur’an tersusun dari rangkaian kata-kata yang membentuk bahasa, sehingga menjadi tepat pula untuk mendekati Al-Qur’an dengan pendekatan bahasa yang bersifat ilmiah-rasional. Posisi yang diambil oleh Nasr dalam buku ini membedakannya dengan kalangan ulama yang melihat Al-Qur’an dari sisi sumbernya yang bersifat ilahi dan transenden.

Pada bagian pendahuluan, Nasr mengaskan bahwa buku ini merupakan hasil perjalanan dialektika antara dirinya dengan para mahasiswa jurusan Bahasa Arab di Universitas Kairo beserta para professor dan koleganya. Bermula dari pengujian beragam hipotesis yang diajukan perihal aspek-aspek dari Al-Qur’an. Berlanjut pada kajian kritis terhadap hipotesis tersebut.

Metode yang mereka gunakan; pertama, membaca apa yang telah ditulis oleh ulama terdahulu; kedua, membincang kembali pendapat mereka dengan kaca mata kontemporer. Kemudian hasil dialektika itu yang mendasari penulisan buku ini secara akademik. Namun, di sisi lain, dialog itu juga mengantarkan Nasr untuk membicarakan persoalan budaya dan negaranya. Dengan begitu, selain berposisi sebagai akademisi, buku ini juga merangkap suara Nasr atas keprihatinannya sebagai seorang warga negara.

Melihat Al-Qur’an Sebagai Teks

Kembali pada kegelisahan Nasr di awal, sebenarnya semangat utama yang ingin digaungkan Nasr dalam buku ini adalah mengembalikan watak tekstual Al-Qur’an pada tempat yang sesuai. Oleh karena itu, fokus yang dikaji adalah teks itu sendiri, bukan lagi perihal hubungan dan dialektika antara mufasir dan teks. Seperti yang terjadi pada filsafat hermeneutika kontemporer yang lebih menekankan pada peran pembaca hingga posisi dan eksistensi teks dihancurkan dan tidak memiliki makna apapun.

Untuk itu, pertanyaan mengenai eksistensi teks yang diajukan Nasr menjadi penting, “Apa pengertian teks dan bagaimana cara memahaminya?” Melalu pertanyaan ini, Nasr ingin menunjukkan peran teks, efektivitas teks dan efektivitas tradisi penafsiran yang berkaitan dengan teks. Hasil yang diharapkan Nasr adalah adanya keseimbangan antara peran teks dan peran mufasir dalam memahami Al-Qur’an, kemudian dapat dikontekstualisasikan pada masa kontemporer.

Tiga Pokok Gagasan Nasr

Buku ini kemudian menguraikan tiga bagian penting. Pertama, wacana mengenai format dan formatisasi teks. Bagian ini ingin melihat bagaimana pewahyuan Al-Qur’an dalam proses komunikasi antara yang transenden dan yang profan. Pada tahap format teks (marhalah tasyakkul) Al-Qur’an turun dengan media bahasa Arab, yang kemudian di dalamnya terlibat konteks, nilai, cara padang dari budaya Arab pada waktu itu. Adanya dialektika Al-Qur’an dengan sosio-budaya Arab ini yang kemudian menjadikan Nasr berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (al-Muntaj ath-Thaqāfī). Adapun dari sisi formatisasi oleh teks (marhalah tasykīl), Al-Qur’an kali ini yang membentuk budaya melalui nalar manusia yang menafsirkannya (al-Muntij ath-Thaqāfī).

Kedua, bagian ini membicarakan tentang bagaimana teks bekerja dalam memproduksi makna. Melalui nalar mufasir teks dapat terus memproduksi makna melalui jalur intertekstualitas dan intratekstualitas. Jika intertekstualitas melihat Al-Qur’an dalam kaitannya dengan teks-teks lain yang mendahuluinya, maka intratekstualitas melihat bagaimana satu ayat berkaitan dengan ayat lainnya dalam Al-Qur’an itu sendiri. Sementara bagian ketiga, membincang pergeseran konsep dan fungsi teks. Pergeseran dari teks yang tertutup dan bermakna tunggal menjadi teks yang terbuka dan memiliki makna yang kaya dan bertingkat.

Menyoal Al-Qur’an Sebagai Produk Budaya

Pernyataan bahwa Al-Qur’an adalah produsen budaya mudah untuk diterima semua orang, karena melalui kitab ini lahir berbagai nilai dan cara pandang baru dalam budaya dan peradaban yang memahaminya. Namun, menerima Al-Qur’an sebagai produk budaya tidak semudah itu. Karena pernyataan ini dapat mengoyak sakralitas Al-Qur’an yang sudah diimani oleh setiap Muslim. Pernyataan terakhir ini serupa melakukan desakralisasi Al-Qur’an. Kontroversi serius ini yang kemudian membuat Nasr bercerai dengan istrinya dan hijrah ke Belanda. Lalu bagaimana untuk memahami pernyataan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya?

Sebenarnya, yang dimaksud Nasr dengan pernyataan di atas adalah dalam pengertian dia mencerminkan lingkungan budaya di mana Al-Qur’an itu tumbuh. Karena Al-Qur’an turun di masyarakat Arab, memakai bahasa Arab, maka dengan sendirinya pengaruh kultur Arab, linguistik Arab bahkan cara pandang Arab sangat besar dalam pembentukan ajaran Islam, juga pewahyuan Al-Qur’an. Dengan begitu, memahami Al-Qur’an, tidak dapat dipisahkan dengan konteks sejarah di mana Al-Qur’an itu turun.

Namun, catatan penting bagi pernyataan ini adalah bahwa Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab sebagai media, bukan bermakna ia produk budaya. Artinya, Allah hanya “meminjam” bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi yang transenden. Sehingga, betapapun berbahasa Arab dan diturunkan pada konteks Arab, Al-Qur’an selamanya tetap sakral dan mengandung pesan universal.

Pesan Utama Nasr

Alhasil, melalui karya ini Nasr ingin membongkar cara pandang yang dogmatis-ideologis menjadi ilmiah-rasional, sehingga mampu mendudukkan posisi teks Al-Qur’an pada tempat yang sesuai. Cara pandang ini kemudian membuat Nasr mengkritik ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sudah mapan untuk dimaknai kembali dengan kesadaran yang lebih proporsional antara teks dan konteks.

Melalui pendekatan hermeneutika dan semiotika, karya Nasr ini layak untuk dibaca, dikaji dan diapresiasi sebagai sebuah tawaran baru, betapapun melahirkan kontroversi yang cukup serius. Dengan begitu, khazanah keilmuan Islam menjadi semarak lagi, dengan mempertanyakan kembali pemahaman yang sudah dianggap mapan untuk melahirkan dialektika keilmuan yang sehat dan peradaban yang tercerahkan.

Terlepas dari pro dan kontra perihal pemikiran Nasr, ada satu spirit penting yang dihembuskan melalui karya ini, yaitu kesadaran ilmiah terhadap tradisi. Upaya ini terlihat jelas dari gagasan dan pemikiran yang lahir dari seorang Nasr. Namun, sebagai catatan, karya ini perlu dibaca secara kritis agar dapat melihat posisi Al-Qur’an secara porsional dan proporsional. Dengan begitu, buku ini layak dijadikan bekal bagi siapa saja yang ingin melihat Al-Qur’an sebagai kitab suci yang berupa teks dan didekati dengan pendekatan kebahasaan, baik hermeneutika maupun semiotika.