Diskursus Tafsir Modern di Mesir; Review Buku The Interpretation Of The Koran In Modern Egypt Karya J. J. G. Jansen

Oleh: Sherly Dwi Agustin

Buku karya J. J. G Jansen ini berjudul The Interpretation of The Koran in Modern Egypt. Sesuai dengan judulnya, buku ini merupakan karya yang mencoba memotret perkembangan tafsir modern Mesir. Spesifikasi Mesir sebagai fokus pemetaan Jansen dalam kajiannya terhadap perkembangan penafsiran bukanlah kebetulan semata.

Muhammad Nur Kholis S. menjelaskan dalam pengantar buku Diskursus Tafsir Al-Qur'an Modern yang merupakan versi terjemah bahasa Indonesia dari buku Jansen, setidaknya terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi fokus penelitian Jansen di Mesir.

Pertama, modernisasi pemikiran Islam tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Abduh dengan melakukan renovasi besar-besaran terhadap kajian Al Qur'an.

Kedua, banyaknya koleksi tafsir Mesir yang saat itu belum tersentuh peneliti barat, (perlu diketahui bahwa pendahulu dari kajian Jansen ini salah satunya adalah Baljon yang menulis review nya ketika penafsiran Bint Syati' belum terbit sehingga belum termasuk dalam peta kajiannya).

Ketiga, faktor internal Jansen sebagai seorang sarjana spesialis Budaya Sastra Timur Tengah, khususnya wilayah Mesir dan sekitarnya. Hal ini memungkinkan Jansen memiliki kredibilitas yang mencukupi untuk melakukan pemetaan karya-karya tafsir Modern Mesir. (Kholis S, 1997, xii)

Secara garis besar, Jansen melakukan pemetaan rigid terhadap penafsiran-penafsiran di Mesir, yang nantinya tipologi penafsiran versi Jansen mengambarkan era Mesir Modern semenjak lahirnya pembaharuan Abduh, epistemologi penafsiran Ilmiah, penafsiran filologik dan sastra, serta penafsiran-penafsiran dalam berbagai karya yang berkaitan dengan dimensi praktis al Qur'an.

Jansen memulai kajiannya dengan menjelaskan pemikiran Muhammad Abduh dengan memosisikannya sebagai gerbang pembaharuan kajian Al-Qur'an. Jansen memasukkan Abduh sebagai "rasionlis", hal ini didasarkan pada penafsiran Abduh tentang Furqan dalam QS. Ali Imran [3]:4 sebagai "rasio atau akal yang dapat membedakan kebenaran dari kesalahan". Bagi Jansen, salah satu urgensi pembaruan penafsiran Abduh adalah penyegaran terhadap tafsir-tafsir era klasik dan pertengahan yang penuh dengan kepentingan individual-ideologis yang berakibat pada penafsiran yang menjauh dari pesan utama Al-Qur'an. Salah satu indikator statemen ini adalah menjamurnya tafsir sektarian sebagai upaya justifikasi akan superioritas madzhab politik tertentu.

Selain itu, menurut Jansen, kebaruan penafsiran Abduh terletak pada penekanannya yang baru dalam melihat Al-Qur’an, yakni sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spiritual. Di samping itu, Abduh berani menolak otoritas dan validitas hadis-hadis tertentu yang diterima dari generasi Muslim awal, khususnya apa yang disebut sebagai hadis-hadis israilliyat, walaupun hadis-hadis tersebut lumrah dipakai oleh mufassir terdahulu. (Jansen, 1997, 41)

Selanjutnya Jansen melakukan kajian atas Al-Qur'an dan sejarah alam atau tafsir ilmi. Tafsir ilmi menjadi salah satu focus kajiannya disebabkan oleh maraknya kemunculan model penafsiran santifik di paruh awal abad 20 khususnya di wilayah Mesir. Menurut Jansen, fenomena ini merupakan imbas dari kontak intelektual dan budaya Muslim Timur Tengah dengan Barat pasca Renaissance.

Jika dicermati lebih jauh, genealogi penafsiran santifik dapat dilacak semenjak masa Abbasiyah, saat umat Islam mulai bersentuhan dengan kemajuan berbagai disiplin keilmuan saat itu. Walau demikian, keberadaan tafsir ilmiah dalam khazanah penafsiran modern tidak luput dari respon kontra terkait keabsahannya.

Namun, respon negatif ini tidak mengurangi semangat para Sarjana Muslim khususnya, untuk mengembangkan metode penafsiran ini. Salah satu karya yang cukup mencolok berkaitan dengan tafsir ilmiah adalah Tafsir al Jawahir karya Tantawi Jawhari, terdiri dari beberapa jilid dilengkapi dengan gambar-gambar yang sarat dengan pengadopsian penemuan-penemuan ilmu alam mutakhir. (Jansen, 1997, 61)

Setelah membahas tafsir ilmi, Jensen melanjutkan kajiannya terhadap tafsir yang bermadzhab folologik dan sastra. Madzhab penafsiran ini dimotori oleh Amin al-Khuli (1895-1965), seorang pakar Studi al Qur'an dan Sastra Arab Universitas Kairo. Kamudian, proposal metodologis al-Khuli diaplikasikan dengan baik oleh murid sekaligus istrinya, A'isha Abdurrahman Bint’ Shati'.

Beberapa peradigma dasar tafsir sastra al-Khuli yang dijelaskan Jansen di antaranya adalah bahwa proyek penelitian al-Khuli terhadap kajian Al-Qur'an dimulai dengan upaya menggeser wilayah hermeneutik teks dari unthikable menjadi thinkable. Hal ini dilakukan dengan memperlakukan teks sakral Al-Qur'an sebagai kitab Sastra Arab terbesar, sehingga analisis linguistik-filologik teks digunakan untuk menangkap pesan moral dan hidayah Al-Qur'an. Dengan status teks yang demikian rupa, al-Khuli tidak bermaksud mensejajarkan teks religius dengan teks Sastra kemanusiaan, akan tetapi bermaksud untuk menemukan tujuan sosial Qur'ani yang terkandung dalam komposisi Al-Qur'an.

Untuk mencapai sasaran tersebut, al-Khuli membagi kajian teks menjadi dua tahap. Pertama, kajian atas segala hal yang ada di luar teks Al-Qur'an (dirāsah mā ḥawl al-Qur'ān) dan kajian terhadap teks al-Qur'an itu sendiri (dirasa mā fi al-Qur'ān). Dirāsah mā ḥawl al-Qur'ān diarahkan pada investigasi aspek sosio historis, geografis-kultural, dan antropologis wahyu. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada pelacakan komponen kata dan struktur kalimat dalam ayat Al-Qur'an semenjak pertama kali diturunkan, pemakaiannya dalam Al-Qur'an serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. (Jansen 1997,105)

Namun, batasan batasan pedoman penafsiran dalam madzhab penafsiran Sastra menjadikan model penafsiran ini tidak toleran terhadap pola interpretasi saintifik. Bahkan, al-Khuli berpendapat bahwa penafsiran ilmiah adalah bentuk pemaksaan teks-teks sakral pada penemuan mutakhir kontemporer, yang pada gilirannya dapat men-desakralisasi wahyu verbal Tuhan.

Terakhir, Jansen mengkaji tentang penafsiran Al-Qur'an praktis, yaitu penafsiran yang berkenaan dengan problematika keseharian umat. Persoalan yang ada, meliputi beberapa aspek, seperti ijtihad, hukum keluarga dan poligami. Diskusi tentang sah tidaknya ijtihad sebagai sumber pengambilan hukum dan ketentuannya, cukup marak. Dalam lingkup pembicaraan ini, Jansen banyak mengulas tokoh-tokoh yang mencuat ke permukaan, seperti Muhammad Mustafa al Maraghi, Hasan al Banna, Mahmud Shaltut, dan Abbas Mahmud al-Aqqad.

Topik selanjutnya adalah isu poligami yang sempat mencuat di wilayah Mesir pada era modern dengan melibatkan para sarjana baik kalangan konservatif maupun modern-liberal. Satu yang perlu diingat bahwa, kajian Jansen terhadap penafsiran praksis ini tidak terbatas pada karya karya murni tafsir. Akan tetapi juga melibatkan karya-karya kreatif yang masih berhubungan dengan teks Al-Qur'an.(Jansen 1997, 127)

Secara holistic, kajian Jansen dalam memetakan tafsir modern di Mesir, menyuguhkan aspek orsinilitas dan kebaruan dari masing-masing corak penafsiran modern beserta pro-kontra keabsahannya. Kajian Jansen ini dapat menggambarkan batas awal dimulainya periode modern khususnya dalam penafsiran yang muncul di Mesir pada abad 20 yang kemudian menempati posisi amat penting dalam wacana intelektual Islam, khususnya semenjak gagasan-gagasan pembaruan Abduh mulai memiliki pengaruh dalam banyak belahan dunia Islam. [sherly]