Ignaz Goldziher dan Tipologi Penafsiran Al-Qur’an

Oleh: Muhammad Arman Al Jufri

Ada sebuah definisi yang cukup menarik, yang tersebar di kalangan muslim maupun non-muslim, baik di masa lalu maupun masa sekarang, ketika berbicara tentang Al-Qur’an. Definisi itu kurang lebih berbunyi bahwa: “sebagai kitab suci, Al-Qur’an merupakan sekumpulan kata-kata Ilahi yang diturunkan secara verbal, termasuk di dalamnya memuat makna dan ide-ide moral, dan secara fungsional, ditujukan sebagai petunjuk kepada semua manusia (hudan li an-nas)”.

Definisi yang demikian, secara praktis, telah menghadirkan beragam usaha di kalangan muslim maupun non-muslim untuk merumuskan pelbagai metode penafsiran Al-Qur’an dengan tujuan untuk menemukan makna dan ideal moral al-Qur’an. Beberapa nama, pun dengan seperangkat medote, corak, pendekatan dan hasil penafsirannya, telah secara rapih dan sistematik tercatat dalam berbagai macam literatur.

Salah satu literatur yang merangkum usaha-usaha tersebut kiranya dapat dilihat dalam Iqnaz Goldziher (1850-1921 M), seorang orientalis asal Hungaria, melalui karyanya yang berjudul Die Richtungen Der Islamischen Koranauslegung (versi asli terbit tahun 1920 dalam Hungarian Journal of the Orientalist, juga diterbitkan di E.J Brill, Leiden, tahun 1950), Madza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi (versi Bahasa Arab yang diterbitkan di Dar-Iqra’, Beirut, Lebanon, tahun 1983), dan Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern (versi Bahasa Indonesia yang diterbitkan di Kalimedia, Yogyakarta, tahun 2015).

Kelahiran karya ini mendasari sebuah persoalan penting, setidaknya dalam pandangan Goldziher itu sendiri. Melalui karyanya ini, Goldziher menganggap bahwa diskursus Al-Qur’an, pun metode dan tafsir atasnya, yang sudah dilakukan oleh para pengkaji terdahulu “tidak benar-benar murni”, dan juga tidak dapat dilepaskan dari adanya tujuan, kepentingan, dan tendensi tertentu.

Kiranya apa yang disampaikan dan menjadi argumentasi utama Goldziher tersebut tidak berlebihan. Fakta tentang adanya saling klaim kebenaran terkait sebuah penafsiran atas sekte keagamaan tertentu, misalnya, yang tidak jarang berujung pada “saling kafir-mengkafirkan” merupakan bukti lanjutan yang memperkuat argumentasi Goldziher tersebut.

Untuk tujuan tersebut, dengan sebuah kajian yang kritis terhadap berbagai upaya, baik itu bersifat kerja individu maupun kerja kolektif untuk menegakkan Al-Qur’an, memahaminya, dan lalu menginterpretasikannya; Goldziher berusaha memperlihatkan kenyataan sejarah, sosial, dan budaya dalam diskursus Al-Qur’an: “bahwa tidak ada pemahaman yang tunggal atasnya”.

Dalam Madza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi karya Goldziher ini, terdapat enam tipologi penafsiran Al-Qur’an.

Pertama, tafsir tahap awal. Pada bagian ini, Goldziher memperlihatkan sebuah problem utama dalam tafsir tahap awal hanya berkisar pada adanya perbedaan qira’at di antara para sahabat Nabi Saw. Problem perbedaan qira’at ini mulai memuncak, utamanya, ketika masa kepemimpinan Utsman bin Affan, dengan proyek kodifikasi dan unifikasinya, yang belakangan hasil dari proyek ini dikenal dengan “Mushaf Utsmani”.

Proyek tersebut bertujuan selain untuk menghindari timbulnya konflik, kepentingan politis, juga untuk menjaga kemurnian kitab suci. Namun, sebagaimana dinyatakan Goldziher, kerja semacam ini—kodifikasi, unifikasi atau penyamaan bacaan—merupakan sesuatu yang baru dan tidak pernah dipikirkan sebelumnya.

Maka tidak mengherankan jika proyek ini mendapatkan perdebatan di antara kalangan sahabat, utamanya yang mengalami penolakan atas ayat Al-Qur’an yang ia ajukan, meskipun berasal dari Nabi langsung. Perdebatan ini pada akhirnya menciptakan adanya aliran-aliran di luar “Mushaf Utsmani”, yang masing-masing mengklaim kebenaran atas bacaan yang dimiliki.

Goldziher mencatat bahwa perdebatan ini melibatkan; qira’at yang dimiliki Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibn Syanbuz, dan Abu Bakar al-Athar al-Muqarri; penolakan terhadap qira’at ghair masyhu>rah, qira’at yang bertentang dengan Mushaf Utsmani, pergantian lafadz semakna, sab’atu ahruf, pandangan terhadapnya, dan posisi pakar nahwu dalam perdebatan ini.

Kedua, tafsir bi al-ma’tsur. Pada bagian ini, Goldziher menunjukkan bahwa kerja penafsiran sepeninggal Nabi telah dilanjutkan oleh para sahabat dengan menyandarkan standar kesahihannya kepada beberapa penjelasan Nabi (Hadis). Hal ini dilakukan karena posisi sahabat sebagai pihak yang secara langsung menerima penjelasan dan riwayat penurunannya (azbab an-nuzul).

Namun, hal ini juga menuai sebuah problem. Goldziher melihat tafsir bi al-ma’tsur tidak selalu utuh. Di satu sisi, Goldziher menemukan adanya penafsiran atas satu ayat yang bertentangan, di sisi yang lain, juga ada yang menafsirkan kosakata dan kalimat yang berbeda.

Ketiga, tafsir perspektif teologi rasional. Goldziher menunjukkan bahwa awal munculnya tipologi ini bermula dari hadirnya sekelompok sekte keagamaan yang berusaha menentang kelompok yang menafikan hadirnya peran akal dalam merumuskan konsepsi keagamaan, khususnya dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Sekte keagamaan ini bernama Mu’tazilah. Pokok perhatian Goldziher dalam bagian ini meliputi: Mu’tazilah dan para penentangnya, provokasi pembuhanan terhadap at-Thabari, karya dan metode penafsiran Mu’tazilah, dan posisi akal.

Keempat, tafsir perspektif tasawuf. Tipologi ini, menurut Goldziher, muncul dari sekelompok orang yang bersikap zuhud secara total yang berusaha untuk melepaskan dari kehidupan duniawi. Penjelasan Goldziher pada bagian ini memusatkan perhatian pada konsepsi wahdatul wuju>d, metode ta’wil, kelompok Ikhwan al-Shafa, al-Ghazali, al-Hallaj, metode Philon, simbolisme, Ibn ‘Arabi, Ibn Sina, metode sufi Ismailiyah, As-Sya’rani, dan Hujjah dari kalangan sufi.

Kelima, tafsir perspektif sekte keagamaan. Tipologi ini, oleh Goldziher, disajikan dengan menghadirkan perdebatan yang cukup serius, yang hadir dari kelompok Syi’ah dan Khawarij. Kedua kelompok ini secara sengaja memasukkan doktrin kepentingan dan prinsip-prinsip keagamaannya dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang pada akhirnya, digunakan sebagai legitimasi politik.

Goldziher menempatkan fokus pembahasan dalam tipologi ini dengan menjelaskan prihal Syi’ah, Khawarij, terkait posisi Ali dalam Ahlussunnah, prinsip-prinsip dalam Syi’ah dan Mushaf Utsmani, beberapa contoh perbedaan qira’at, prihal Syi’ah dan tafsirnya, dan ta’wil atas al-Nahl, al-Nu>r, al-Balad, al-Rahma>n, al-Thi>n, dan al-Zaitu>n.

Keenam, tafsir era kebangkitan Islam. Munculnya tipologi yang terakhir, dalam pandangan Goldziher, berangkat dari beberapa pertanyaan mendasar yang muncul di kalangan muslim, yang dalam tanda kutip “merasa tertinggal”. Melalui kajiannya yang mendalam terhadap Islam dan peradaban modern, neo-Mu’tazilah, penolakan terhadap Ijma’, gerakan pembaharuan di India dan Mesir—yang meliputi Ahmad Khan, al-Afghani, Rasyid Ridha, M. Abduh, Ibn Taymiyah dan Ibn Qoyyim—berikut dengan metode penafsiran yang digunakannya, hegemoni madzhab empat, dan penafian vitalitas fiqh, Goldziher menemukan sebuah jawab penting.

Bahwa mayoritas dari elite keagamaan yang ada selalu menempatkan aspek teoritis dan praktis sebagai perhatian ketika Islam dan budaya modern dibandingkan aspek eklektis. Sehingga pada akhirnya ada paradoks makna dan hakikat Islam yang justru menghambat mobilitas Islam ke kebudayaan modern.

Melalui pemaparan yang tergolong singkat ini, karya Iqnaz Goldziher ini menjadi karya yang penting untuk diperhatikan secara lebih mendalam. Goldziher telah memperlihatkan bahwa tidak ada yang statis dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia selalu berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman, dan tentu disertai dengan beberapa tujuan dan kepentingan tertentu. Wallahu’alam.