Islam dan Modernitas: Membaca Pemikiran Fazlur Rahman

Oleh: Muhammad Arman Al Jufri

Diskursus terkait hubungan antara Islam, khususnya Al-Qur’an, dengan realitas modern telah mengundang banyak kalangan untuk ikut serta di dalamnya. Poin penting dalam diskursus ini berkisar pada, “Islam yang harus mengikuti gerak modernitas, atau sebaliknya, gerak modernitas-lah yang harus mengikuti aturan baku yang tercantum dalam Islam”.

Geliat ini setidaknya dapat dilihat dari semakin maraknya kajian atas kedua term ini, berikut dengan perumusan-perumusannya, yang mengalami perkembangan yang cukup dinamis, seiring dengan gerak akselerasi perkembangan sosial, budaya, dan peradaban manusia. Alasan mendasarnya, setidaknya dalam pandangan kalangan pemikir Islam kontemporer, adalah bahwa meskipun Al-Qur’an hadir dalam konteks dan lokalitas tertentu, ia (Al-Qur’an) pada dasarnya mengandung nilai-nilai universal, yang akan senantiasa relevan dengan untuk ruang dan waktu yang tidak terbatas.

Salah satu di antara banyak kalangan yang ikut serta dalam diskursus ini adalah Fazlur Rahman. Ia merupakan seorang intelektual yang dilahirkan pada 21 September 1919, di sebuah wilayah yang berada di Barat-Laut Pakistan. Secara garis besar, Rahman merupakan tokoh yang beraliran neo-modernisme dan sekaligus reformis-moderat. Aliran pemikiran ini memiliki ciri khas pada adanya sikap kritis terhadap dunia Barat dan secara bersamaan juga sekaligus kritis terhadap warisan-warisan kesejarahan Islam klasik; serta mencoba untuk melakukan sebentuk sintesa-kreatif dari aliran tradisionalis dan modern dengan menggunakan paradigma future-oriented.

Ketika menafsirkan Al-Qur’an aliran ini memberikan posisi Al-Qur’an (text), realitas (context), dan pembaca (reader) untuk berjalan sirkular secara triadik dan dinamis. Nuansa yang dimunculkan atas produk penafsiran di era ini cenderung bernuansa hermeneutik dan lebih menekankan pada aspek epistemologi-metodologis.

Kecenderungan-kecenderungan sebagaimana tersebut di atas dapat dilihat melalui salah satu karyanya: Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition yang diterbitkan The University of Chicago pada tahun 1982. Lahirnya karya mendasari sebuah persoalan penting, terutama terkait musabab kemunduran umat muslim dalam menghadapi realitas modern. Hemat Rahman, kemunduran ini sangat terkait dengan sistem pendidikan Islam, yang dalam pandangannya, memiliki kecenderungan yang mengarah pada ragam baku bangunan keilmuan klasik dan utamanya keterpasungan terhadap dogma madzhab tertentu.

Karya ini, mulanya, merupakan bagian kecil dari sebuah proyek yang lebih besar, yakni “Islam and Social Change” atau “Islam dan Perubahan Sosial”. Proyek ini melibatkan banyak kalangan sarjana muda dan mendapatkan dukungan dari The University of Chicago dan Ford Foundation in Islamic Education, yang mana Rahman dan Professor Leonardo Binder merupakan co-direkturnya

Sementara para sarjana muda lainnya menempatkan fokus perhatian pada aspek monografi, yakni sebuah karya tulisan (karangan, uraian) mengenai satu bagian dari suatu ilmu atau mengenai suatu masalah tertentu di berbagai negara muslim, Rahman dalam hal ini, justru memilih untuk menulis sebuah karya umum pada sistem pendidikan Islam abad pertengahan. Pusat perhatian Rahman mengarah pada fitur dan kekurangan ragam bangun keilmuan Islam klasik, upaya modernisasi yang telah dilakukan selama abad terakhir atau lebih, serta tawaran metodologis baru yang dianggap efektif.

Fazlur Rahman memulai karya ini dengan memperlihatkan “gap” dalam sistem pendidikan Islam di masa lalu. Istilah “Pendidikan Islam”, sebagaimana yang tersebar dan mafhum di kalangan masyarakat masa lalu, nampaknya tidak lagi mampu untuk menampung, menjawab, dan pada akhirnya diimplimentasikan pada realitas kekinian. Rahman menawarkan istilah lain, yang setidaknya dalam pandangannya, dianggap mampu untuk menampung persoalan ini dengan istilah “Intelektualisme Islam”. Secara sederhana, istilah tersebut merujuk pada suatu pertumbuhan sistem pemikiran Islam yang dapat menilai tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu sistem pendidikan Islam.

Fakta lain, yang juga ditemukan Rahman, memperlihatkan bahwa pertanyaan-pertanyaan dasar tentang metode-metode, juga khususnya terkait disiplin keilmuan hermeneutika tidak ditangani secara tepat oleh umat Islam. Sistem abad pertengahan hukum Islam memang bekerja cukup berhasil dalam menjawab problem terdahulu.

Hal tersebut terjadi karena realisme yang ditunjukkan oleh generasi awal mengambil bahan baku untuk hukum ini dari adat istiadat dan lembaga-lembaga tanah yang ditaklukkan, memodifikasi mereka, jika perlu, dalam terang ajaran Al-Qur'an, dan mengintegrasikannya dengan ajaran itu. Hanya saja, bentuk integrasi dari ajaran tersebut nampak tidak mampu menjawab persoalan kekinian.

Untuk menunjang tawarannya tentang “Intelektualisme Islam”, secara bersamaan, Rahman menawarkan model pembacaan baru terhadap Al-Qur’an. Tawaran tersebut adalah “Double Movement”. Secara sederhana, model pembacaan tawaran Rahman berangkat dari realitas kekinian menuju realitas di mana Al-Qur’an diturunkan, dan diakhiri dengan kembali ke realitas kekinian.

Untuk mempermudah dalam memahami metode ini, Rahman menguraikan secara detail langkah-langkah metodologis yang harus ditempuh sebagai berikut; pertama, dari situasi sekarang menuju situasi Al-Qur’an, yang terbagi menjadi dua langkah. Langkah pertama, memahami makna atau arti dari suatu pernyataan, dalam hal ini ayat Al-Qur’an, dengan mengkaji aspek-aspek situasi atau problem historis mengenai di mana pernyataan tersebut menjadi sebuah jawaban.

Dengan kata lain, langkah pertama dalam gerakan ganda ini, seorang penafsir harus memahami dua realitas sekaligus, yakni asbâb an-nuzûl makro dan mikro. Dengan demikian, maka sudah barang tentu akan ditemukan ajaran universal Al-Qur’an yang mendasari perintah normatif Al-Qur’an. Langkah kedua, melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik dan menyatakan sebagai sebuah pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial yang disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar-belakang sosio-historis dan ratio-legis (ilat hokum).

Kedua, proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khsusus yang dalam hal ini harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Langkah ini memerlukan kajian yang teliti terhadap realitas sekarang dan analisis yang mendalam terhadap berbagai unsur komponen. Sehingga pada akhirnya kajian, dapat menentukan prioritas-prioritas baru untuk menimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an baru sesuai dengan realitas kekinian.

Berangkat dari uraian ringkas di atas, kiranya menjadi penting untuk melihat lebih jauh ihwal tawaran metodologis Rahman tersebut. Di satu sisi, tawaran metodologis Rahman membawa angin segar dalam khazanah kajian penafsiran Al-Qur’an, namun di sisi yang lain, sebagaimana dalam catatan Sahiron Syamsuddin dalam “Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an Kontemporer”, Rahman nampaknya melupakan persoalan lain, yang tidak kalah penting.

Catatan Sahiron memperlihatkan bahwa Rahman, juga para pemikir Islam kontemporer lainnya semisal Muhammad al-Thalibi dengan tawarannya al-tafsir al-maqashidi dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan tawarannya al-tafsir al-siyaqi hanya menempatkan makna historis sebatas pijakan; dan makna literal dari Al-Qur’an tidak lagi dianggap penting sebagai pesan utama. Lebih lanjut, kalangan ini juga tidak memberi perhatian pada penjelasan tentang signifikansi (pesan utama).

Hemat Sahiron, perhatian terhadap penjelasan signifikansi pada akhirnya memperlihatkan bahwa yang dinamis tidak terletak pada makna literal, melainkan pada pemaknaan atas signifikansi itu sendiri. Sebab, makna literal adalah monistik (satu), objektif, dan historis-statis, sementara pemaknaan signifikansi itu pluralitas, berkembang, dan historis-dinamis.