Geneologi Pemikiran Kiai Faqih tentang Hadis Wanita Berparfum Dianggap Pezina
Oleh: Muhammad Mundzir*
Tulisan singkat ini akan membedah bagaimana geneologi pemikiran Kiai Faqih (Faqihuddin Abdul Kodir) ketika memahami hadis “wanita berparfum dianggap pezina”. Hadis ini cukup krusial bagi golongan tertentu, sebab jika dipahami tekstual akan berimbas terhadap ruang gerak perempuan untuk tampil di publik. Namun, Kiai Faqih yang memberikan pemikiran berbeda.
Kiai Faqih dan Pemaknaan Hadis tentang Wanita Berparfum Dianggap Berzina
Kiai Faqih sebagai pelopor Qira’ah Mubadalah memberikan sebuah statement bahwa dalam membaca teks harus menggunakan prinsip kesalingan, yaitu tidak memosisikan perempuan sebagai objek yang terus dimarginalkan. Dalam hal ini, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa parfum yang digunakan perempuan lebih potensial menarik syahwat. Akan tetapi, segala parfum yang digunakan perempuan atau laki-laki memiliki potensi yang sama untuk menimbulkan syahwat.
Hadis tentang perempuan berparfum dianggap berzina tidak hanya mengkhususkan kepada parfum, namun segala hal yang dapat menimbulkan wewangian, seperti detergen, kosmetik, parfum mobil, dan sejenisnya. Hal ini didasarkan kepada redaksi hadis ليجدوا من ريحها .
Setidaknya terdapat 11 hadis yang terdapat dalam kutub al-tis’ah, Shahih al-Bukhari: 2 riwayat, Shahih Muslim: 1 riwayat, Sunan Abu Dawud: 2 riwayat, Musnad Imam Ahmad: 6 riwayat.
Kiai Faqih selanjutnya berpendapat bahwa hadis tersebut memiliki korelasi dengan hadis tentang wanita adalah aurat dan sumber fitnah. Dua hadis tersebut memiliki konsekuensi ketika wanita dianggap aurat, maka segala hal yang dikenakan, dilakukan, dan nampak dari wanita akan dianggap sebagai penarik syahwat. Hal ini bertendensi juga bahwa libido laki-laki pada zaman Jahiliyyah sangat tinggi, sehingga tidak salah jika perzinaan pada zaman tersebut marak.
Hadis tentang “wanita mengenakan parfum dianggap berzina”, menurut Kiai Faqih tidak terlepas dari sistem patriarki zaman Jahiliyyah yang selalu mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan dalam segala aspek, baik itu di domestik atau publik.
Problem di media sosial saat ini, terdapat framing yang tidak berlandaskan kepada ilmu atau data penunjang. Hadis yang dipahami tekstual tidak akan bermasalah jika diintegrasikan dengan hadis atau ayat lain. Akan tetapi, saat ini hadis dipahami secara tekstual dan ditambah framing yang diskriminatif terhadap perempuan.
Sebagai contoh, hadis tersebut tidak menyebutkan redaksi pelacur, namun banyak yang memaknai redaksi زانية sebagai pelacur. Tentu ini telah melenceng dari kaidah dasar ilmu hadis.
Adapun tentang zina dan penyebabnya, sejatinya Kiai Faqih memaklumi adanya gejolak libido yang tinggi dari manusia. Selain itu, manusia juga sejatinya berpotensi dan bahkan semuanya telah melakukan zina. Argumentasi ini disampaikan Kiai Faqih dengan bertendensi dari hadis Nabi:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِيوَالْفَرْجُيُصَدِّقُذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
Kiai Faqih memaknai bahwa baik perempuan atau laki-laki sejatinya memiliki potensi untuk berzina dan bahkan sudah berzina. Dalam hadis tersebut sejatinya Allah sudah menetapkan bahwa terdapat dosa-dosa kecil yang tidak bisa dihindari manusia, seperti zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah mengucapkan hal negatif, zinanya nafsu dan imajinasi. Namun demikian, semua zina tersebut tetap ditentukan oleh kemaluan manusia, apakah selanjutnya akan meneruskan imajinasinya atau mengabaikannya.
Maka terdapat logika yang perlu dipahami, bahwa dalam diskursus zina terdapat pemberi sinyal dan penerima sinyal. Baik perempuan atau laki-laki memiliki potensi sebagai pemberi sinyal dan penerima sinyal. Maka, yang menjadi problem dalam hal ini adalah apa langkah selanjutnya bagi penerima sinyal? Melampiaskan atau mengabaikannya?
Selain logika di atas, Kiai faqih memberikan closing statement bahwa zina sejatinya terklasifikasi menjadi beberapa tingkatan. Intercourse (rendah) – Petting (medium) – Imagination (inderawi). Dalam Islam, level inderawi adalah tingkatan yang perlu diwaspadai dan tidak boleh dilakukan.
Membaca Pemikiran Kiai Faqih dengan Hermeneutika Hans-Georg Gadamer
Hermeneutika yang digagas oleh Gadamer masuk dalam klasifikasi Hermeneutika Filosofis, yakni hermenutika yang berfungsi untuk menelaah kondisi-kondisi yang membuat seseorang dapat memahami teks. Teks yang dimaksud tidak hanya sesuatu yang tertulis, namun segala hal yang nampak dan dapat dipahami oleh seseorang yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan sendiri.
Adapun teks yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemikiran Kiai Faqih terhadap hadis tentang “wanita berparfum dianggap berzina”. Maka bukan lagi menelaah hadis dan metodologi memahami hadis, namun menelaah jalan masuk Kiai Faqih dalam membaca hadis tersebut. Artinya menelisik dua realitas, antara realitas teks hadis dan realitas Kiai Faqih sebagai pembaca hadis.
Dalam diskursus Hermeneutika Gadamer, terdapat beberapa fase yang menjadi ciri khas. Pertama, affective history yang bermakna bahwa pembaca teks dipengaruhi oleh sejarah yang melingkupinya. Kedua, preunderstanding yang memiliki makna posisi awal pembaca teks. Ketiga, fusion of horizons, fase ketiga ini berupaya mengkomunikaskan antara horison teks dan horison pembaca, di mana masing-masing horison memiliki cakrawala sendiri. Keempat, application, yakni pengaplikasian makna penafsiran yang lebih berarti atau disebut sebagai meaning-full sense, artinya bukan lagi makna literal teks.(Syamsuddin, 2009, hlm. 44–52)
Fase pertama, affective history, bahwa Kiai Faqih dalam hal ini berstatus sebagai pembaca teks. Ia adalah seorang Kiai sekaligus akademisi yang memiliki fokus terhadap teks-teks perempuan. Hal ini juga diasumsikan dari disertasi dan beberapa bukunya. Selain itu, pada saat memahami hadis tersebut, Kiai Faqih berada dalam pusaran PW Fathayat Nu Lampung. Ia juga anak ideologis dari K.H. Husein Muhammad, sosok yang ahli dalam diskursus gender dan tafsir.
Dengan demikian, terdapat beberapa faktor yang melingkupi Kiai Faqih ketika memahami hadis tersebut, faktor background pendidikan, faktor politik, dan faktor ideologi. Faktor-faktor tersebut kemudian disebut sebagai affective history dari sosok Kiai faqih.
Fase kedua, preunderstanding, dalam hal ini Kiai Faqih memahami bahwa parfum hukumnya baik dan boleh. Ia bertendensi dari beberapa hadis yang menyatakan bahwa Allah menyukai hal yang indah. Hadis tersebut kemudian ia tarik untuk menggeneralisir bahwa parfum itu baik, tidak terdapat fungsi yang buruk dalam unsur parfum. Untuk saat ini seseorang memakai parfum untuk menyamarkan bau badannya.
Fase ketiga, fusion of horizons, dalam fase ini Kiai Faqih membedah hadis tentang “wanita berparfum dianggap berzina”. Pembedahan tersebut dilakukan dengan membaca realitas pada saat itu, di mana wanita dianggap sebagai aurat dan fitnah. Selain itu, ia juga mengorelasikan bahwa seseorang sejatinya tidak dapat terhindar dari zina. Fase ini dinamakan horison teks.
Adapun fase horison penulis, bahwa Kiai Faqih mengkritisi bahwa tidak terdapat diksi pelacur dalam hadis tersebut. Hadis tersebut juga tidak dapat dipahami sepihak, bahwa laki-laki yang memakai parfum juga berpotensi dapat menimbulkan syahwat bagi orang di sekitarnya. Selain itu, potensi zina tidak hanya disebabkan oleh perempuan, namun juga laki-laki juga memiliki potensi yang besar. Hal ini diasumsikan bahwa setiap manusia memiliki libido dengan tingkatan yang bervariatif.
Pada fase ini, perlunya ada kompromisasi antara horison teks dan pembaca. Dalam hal ini, Kiai Faqih memberikan statement hasil dialog antara dua horison, bahwa zina tidak dapat dihindari dan semuanya berpotensi untuk menjadi pemberi sinyal atau penerima sinyal zina. Namun demikian, zina memiliki tiga klasifikasi yang sudah penulis sampaikan di atas.
Keempat, application, sebuah pengaplikasian terhadap makna yang sudah dimunculkan. Penulis dalam hal ini kurang mengetahui sejauh mana Kiai Faqih mengaplikasikan pemahamannya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, asumsi penulis bahwa Kiai Faqih memiliki konsistensi dalam pemaknaannya, hal ini dapat dilihat dari buku-buku yang diterbitkan akhir-akhir ini.
*Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir