Pemahaman Hadis Misoginis: Bantahan Fatima Mernissi terhadap Term Kullu Shahabat ‘Udul
Oleh: Naufal Aulia Hanif
Perdebatan panjang terhadap hadis yang disinyalir pertama kali muncul untuk melegitimasi kebenaran masing-masing kelompok pasca wafatnya Khalifah Usman bin Affan ternyata tidak berhenti dan terus berlanjut sampai era modern-kontemporer saat ini. Bedanya, jika dahulu subjek aktifnya hanya sebatas kalangan internal umat Muslim sekarang non Muslim sebagai kalangan eksternal turut hadir dalam perkembangan pemahaman hadis di tengah problematika yang semakin beraneka ragam. Salah satu problematika yang menarik banyak perhatian pemerhati hadis dari kalangan eksternal dan internal adalah adanya pemahaman patriarki dalam hadis misoginis yang sarat akan rasa kebencian terhadap perempuan atau usaha untuk mendeskritkan perempuan dalam kelas sosial masyarakat.
Menyebarnya pemahaman misoginis (benci kepada perempuan) dalam hadis Nabi di masyarakat sosial ternyata tidak terlepas dari usaha dakwah ulama yang menerangkan hadis dengan berpijak pada aspek temporalnya saja dan terkesan sangat patriarki jika dilihat pada saat ini. Oleh karenanya, secara tidak langsung ideal moral dalam hadis Nabi tidak sampai dan hal ini pun meruntuhkan posisi Nabi Muhammad SAW. yang dipercaya sebagai sosok pembela perempuan. Keresahan serupa itu ternyata juga dirasakan dan ditemukan oleh Fatima Mernissi sebagai perempuan yang tinggal di Maroko dimana hak-hak perempuan banyak dibatasi.
Salah satu hadis Nabi yang Mernissi kritisi di dalam bukunya ”Wanita di dalam Islam” adalah hadis mengenai larangan perempuan untuk memimpin atau memerintah yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah. Melalui dua pendakatan yang Ia gunakan dalam memahami hadis, historis dan metodologis, Mernissi berusaha memfokuskan pada aspek-aspek historis rawi pertama yang kebanyakan dari kalangan sahabat di samping usaha untuk mengetahui konteks Nabi menyampaikan hadis itu sebelum dikaitkan dengan aspek metodologis untuk kepentingan verifikasi. Dengan latar belakang akademik dalam bidang sosiologi, Mernissi teramat sangat intens dalam mengkaji rawi pertama untuk menilai apakah hadis itu dapat diterima atau tidak. Hal ini meruntuhkan pemahaman term kullu shahabat ‘udul yang digaunkan oleh ulama konvensional.
Mernissi menaruh curiga kepada Abu Bakrah dan menganggapnya sebagai sahabat misoginis yang riwayatnya tidak dapat diterima. Salah satu alasan menurut Mernissi yang menjadikan Abu Bakrah sebagai sahabat yang misoginis adalah bagaimana Ia meriwayatkan kembali hadis larangan bagi perempuan untuk memimpin ketika terjadi Perang Jamal yang diakhiri dengan kekalahan Aisyah sebagai pemimpin. Padahal konteks awal hadis itu muncul ketika Kerajaan Persia berada di ujung tanduk kekuasaan karena dipimpin perempuan akibat invasi kerajaan Romawi.
Dari situ nampak seolah-olah sampai kapanpun apabila kepemimpinan diserhakan kepada perempuan maka hasil yang akan ditemui tidak lain hanyalah kegagalan. Bahkan, dari aspek kredibilitasnya, dalam satu riwayat dijelaskan bagaimana Abu Bakrah pernah dihukum cambuk oleh Umar bin Khattab karena memberikan kesaksian palsu mengenai qadhaf. Sehingga, jika dikaitkan dengan pendekatan kedua, yaitu pendekatan metodologis untuk keperluan verifikasi maka hadis ini ditolak untuk diamalkan secara universal karena diriwayatkan oleh rawi yang diduga pernah berdusta.
Oleh karena itu menurut hemat penulis, bantahan Mernissi terhadap term kullu shahabt udul dalam aspek kritik sanad merupakan suatu hal yang baru dan berani. Dogma-dogma normatif yang dibangun ulama konvensional pun tidak menyurutkan semangat intelektualnya dalam menilai dan mengkritisi rawi. Khususnya dari kalangan sahabat yang dianggap sangat berpengaruh dalam penyebaran hadis pada periode awal. Terlebih, mengenai hadis yang diriwayatkan itu sarat dengan kandungan bias gander dan patriarkis. Sehingga secara tidak langsung, bantahan dan penolakannya terhadap term kullu shahabat ‘udul itu juga saling terkait dengan penolakannya terhadap beberapa hadis Nabi.